Lamongan, radarbangsa.net – Data terbaru Portal ATS Kemdikbud mencatat 7.534 anak di Kabupaten Lamongan tidak bersekolah pada 2025. Angka ini memang turun tipis dari 2024 yang mencapai 7.553 anak, namun penurunan itu jauh dari kata menggembirakan. Justru pertanyaan besar muncul: mengapa ribuan anak masih tercecer dari bangku sekolah, sementara gedung baru terus dibangun dan guru rutin dilantik?
Data yang Menampar Nurani
Sebaran angka menunjukkan Brondong menempati urutan tertinggi dengan 788 anak tak sekolah, disusul Paciran 666 anak, dan Babat lebih dari 300 anak. Bahkan di pusat kota Lamongan, lebih dari 160 anak tercatat tidak melanjutkan pendidikan. Ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah wajah anak-anak yang seharusnya belajar, tetapi tersingkir oleh keadaan.
Ironi terasa makin tajam: Lamongan dikenal sebagai pusat perdagangan ikan, pertanian, hingga basis pesantren. Namun ribuan anak dipaksa meninggalkan ruang kelas demi membantu orang tua di tambak, ikut melaut, atau sekadar menganggur tanpa arah.
Akar Masalah: Kemiskinan dan Budaya
Kemiskinan jadi penyebab utama. Di pesisir, anak nelayan lebih dipilih ikut melaut. Di pedalaman, anak buruh tani didorong bekerja ketimbang sekolah. Pernikahan dini masih merenggut hak banyak anak perempuan. Lebih berat lagi, stigma “sekolah tidak menjamin kerja” makin menguat di warung kopi hingga sawah. Jika terus dibiarkan, stigma ini akan menjadi tembok penghalang terbesar.
Negara dan Lembaga: Diam atau Bergerak?
Pemerintah dan lembaga terkait memikul tanggung jawab moral dan hukum. Komnas HAM menegaskan pendidikan adalah hak dasar. Komnasdik seharusnya mengawal serius. Dinas Sosial punya instrumen bantuan, Disnaker wajib menghentikan pekerja anak, Dewan Pendidikan mesti hadir sebagai jembatan rakyat, sementara Komnas Perempuan dan Anak dituntut lebih keras menekan praktik pernikahan dini. Pertanyaannya: mengapa gebrakan besar nyaris tak terdengar di lapangan?
Zakat, Guru, dan PKBM: Potensi yang Tercecer
Lamongan sesungguhnya kaya modal sosial. Lazismu, LAZISNU, BAZNAS, hingga Yatim Mandiri mengelola dana umat. Takmir masjid dan kelompok Orang Kaya Lamongan (OKL) punya daya sebagai donatur. Namun potensi ini belum terkonsolidasi. Dana zakat lebih banyak untuk konsumsi, bukan beasiswa jangka panjang.
Organisasi guru seperti IGI, PGRI, Pergunu, Himpaudi, hingga IGTKI punya jaringan luas. Tetapi mengapa belum ada gerakan masif relawan guru masuk desa, mendirikan kelas darurat, atau mendampingi anak drop out? Jika organisasi guru sibuk dengan seminar dan sertifikasi, mereka kehilangan ruh sebagai penerang belajar.
PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) yang menjadi jalur kejar paket A, B, dan C justru berjalan terseok. Minim fasilitas, tenaga terbatas, dan stigma “kelas dua” membuatnya terpinggirkan. Padahal, bagi anak nelayan di Brondong atau pekerja muda di Paciran, PKBM adalah jalan paling realistis.
Bahaya Siber: Ancaman Baru
Masalah lain: penggunaan internet tanpa pendampingan. Banyak anak putus sekolah menghabiskan waktu di warung kopi ber-WiFi atau warnet di gang-gang sempit. Mereka rawan jadi korban kejahatan siber, penipuan online, hingga eksploitasi digital. Tidak sekolah berarti bukan hanya kehilangan literasi baca-tulis, tapi juga kehilangan benteng perlindungan di dunia maya.
Jalan Keluar: Sinergi atau Mati Perlahan
Lamongan tidak boleh terus menutup mata. Ada lima langkah darurat:
1. Verifikasi by name by address setiap anak ATS, bukan sekadar angka.
2. Gerakan beasiswa bersama: sinergi zakat, CSR, APBD, dan donasi pribadi.
3. Guru relawan lintas organisasi masuk PKBM, masjid, hingga rumah belajar.
4. Pemanfaatan masjid dan balai desa sebagai ruang belajar alternatif.
5. Literasi digital dan pengawasan internet untuk melindungi anak.
Penutup: Ajakan Nurani
Lamongan punya segalanya: dana umat, guru, PKBM, pengusaha, hingga jaringan masjid. Yang kurang hanyalah sinergi nyata.
7.534 anak tak sekolah bukan sekadar angka. Mereka adalah masa depan Lamongan yang terbuang. Pertanyaannya sederhana: apakah Lamongan rela kehilangan generasi, baik dari ruang kelas maupun dari dunia maya? Atau kini saatnya semua pihak bergerak, sebelum semuanya terlambat?








